Secangkir Kopi dan Seteguk Rindu
Hujan, Kopi, Buku dan Kamu.
Adalah hal-hal yang tidak pernah membuatku jemu.
Suara hujan di sore ini misalnya. Beruntung sekali aku bisa
mencium aroma hujan pertama di bulan November bersama laki-laki yang selalu
bertanya dimana aku meletakkan barang-barang pribadinya. Ini minggu ketiga kami
hidup bersama. Entah apa yang dia perbuat sampai-sampai aku bersedia
mendampingi si pelupa ini. Aku rasa saat itu aku sedang tidak sadar diri.
“Yang penting aku gak lupa dimana nyimpen hati aku.” begitu
selalu dia berkilah. Dia mengatakan itu dengan raut wajah serius, serta tatapan
mata tajam kearahku dari jarak yang entah berapa milimeter. Kemudian disusul
dengan kalimat “Dan yang paling penting aku gak lupa pada perempuan mana aku
harus mendaratkan bibirku.”
Aroma kopi selalu tercium darinya setiap kali kami
berdekatan. Aroma yang sama seperti sore ini. Aku sedang membaca buku, ketika
dua cangkir kopi mendarat di meja bundar tempat kami duduk bersantai di halaman
belakang, berteman hujan.
“Baca buku mulu.”
“Soalnya susah kalo baca pikiran kamu.” begitu selalu aku
berkilah. Aku mengatakan itu tanpa menoleh. Dan dia, laki-laki pembuat kopi
kesukaanku, tak akan berhenti mengoceh sampai aku mengalah. Satu gerakan dan
dia akan tersenyum penuh kemenangan. Itu ketika aku menutup buku dan bersiap
menceritakan hal-hal gila tentang hidup sampai kami lupa waktu.
Aku menikmati setiap tatap mata saat dia bercerita,
bersenandung dengan rindu dalam secangkir kopi dalam setiap tegukannya,
diiringi suara tetes hujan yang jatuh pada kaca di daun-daun jendela dan aroma
buku baru yang menanti untuk aku baca.
Hujan, kopi, buku dan kamu.
Kamu.
Kesukaanku.
Yogyakarta, 18 November 2017
21.15 WIB
ditulis melalui imajinasi yang disemogakan menjadi fiksi
Komentar
Posting Komentar