Menenggelamkan Senja

Senja terakhir baru saja pergi. Kita melewatkannya dengan sia-sia. Tak ada lagi senyumanmu yang bisa aku nikmati. Tak ada lagi aku yang bisa memberimu banyak cinta.
Senja terakhir ini kita lewatkan dengan percuma. Duduk berdua di meja yang sama. Sesekali saling diam, sesekali saling bicara. Sesekali, saling menatap mata.
Sore ini kita bersama senja yang perlahan bergerak memutar. Tak ada kata-kata perpisahan yang mampu aku ucapkan dengan benar. Aku melirik pada sudut bibirmu yang sedari tadi bungkam. Katakan sesuatu, batinku. Sampai senja habis diseret waktu, kamu masih diam. Aku beranjak, lidahmu masih kelu.
Sore ini senja pergi berganti malam, diikuti detik yang berganti jam. Aku duduk ditemani riuhnya suara burung-burung hantu. Membawakan kabar bahwa sebentar lagi rindu akan menyerbu. Bercanda! Mana bisa secepat itu? Tanyaku. Bahkan bertemu dengannya saja belum genap 24 jam berlalu.
Jangan mengelak! Katanya. Nona, dari semua ini perasaanmulah yang tak pernah bisa kau tolak.
Burung-burung hantu itu benar. Rindu tak pernah mengenal waktu. Seperti aku yang tak pernah tahu kapan akan berhenti mencintaimu. Jika suatu hari kamu bertanya, apa sebenarnya alasan aku pergi dan berlalu, itu semua karena kamu. Karena aku yang jatuh cinta padamu, namun tak kunjung mendapat balasan. Karena aku yang jatuh hati padamu, dan mulai menumpuk banyak harapan.
Aku merawat sebuah perasaan, hanya saja sekarang rasanya sia-sia aku bertahan, karena ternyata berjuang sendirian itu menyusahkan. Begitulah, untuk semua alasanku memutuskan pergi dari sana. Kamu satu dari sekian alasan yang ada. Aku satu dari sekian perasaan yang kamu biarkan mati percuma.

Senja esok akan jadi yang pertama. Setelah pindah dan berpisah, aku akan tahu apakah masih merasakan resah. Ataukah mulai berlalu dan tak lagi diserbu rindu.

Majalengka, 6 November 2017
10.48 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cokelat Panas dan Obrolan Masa Lalu